Malam makin larut kala Derana tiba di rumahnya.
Ibunya sudah menunggu di meja makan, berharap bisa makan malam bersama, tapi lagi-lagi malam ini Derana pulang sangat larut. Pelan-pelan penuh hati-hati Derana membuka pintu, karena dia sudah tahu Ibunya pasti menunggu sampai ketiduran di meja makan itu.
"Dasar anak nakal," Ucap jarum jam dingding, yang menandakan sudah pukul 11 malam.
"Deranaaaaa..." sahut tahu dan tempe yang mulai kedinginan. Derana mulai berjalan ke atas tempat ia tidur. Lalu terlelam begitu saja dengan lelah yang menerpa seharian.
"Deeerrrrt... derrrrt... derrrrt..." bunyi alarm di bawah ranjang kamarnya.
Derana bangun dari kasurnya, lalu mandi.
"Lain kali, kalau mau pulang larut malam kabarin Ibu dulu!" Ujar Ibu.
"Sarapan udah siap, baju dan celana sudah di kamarmu, gespernya di lemari, cepat siap-siap, Ibu ke pasar dulu," tambah Ibu seraya mengambil tas jingjing untuk ke pasar.
"Iya Ibu, maaf," balas Derana.
Seberes sarapan, Derana berangkat yang butuh waktu 30 menit untuk sampai di sekolahnya. Motor tua itu, tapi masih muda pada tahun 97, kala itu. Mulai dipanaskan mesinnya seraya Derana memakai sepatu kucelnya. Dalam perjalanan, Derana merasa kesal, karena hanya alarm rumah yang berbunyi membangunkannya. Telepon rumah tiba-tiba enggak berfungsi pagi ini, entah cape, karena semalaman begadang dipake teleponan sama kakaknya. Entah pacarnya yang cape semalam gak diberi kabar oleh Derana, karena semalam Derana larut dan terhanyut oleh cerita si Bapak tua itu.
"Ah, pagi yang menyebalkan," ketus Derana seraya tancap gas makin kencang.
Di sekolahnya Derana tidak begitu dikenal oleh teman-teman yang lain. Sebab, ia hanya mementingkan dirinya sendiri. Karena dia percaya bahwa tak ada yang bisa menolong dirinya terkecuali dirinya sendiri. Alasan itulah yang membuat Derana tak begitu berbaur dengan yang lain di sekolahnya. Hari mulai sore, menandakan Derana harus segera pulang ke rumah, tapi ia malah diam di pojok lapang sekolah, entah kenapa, entah apa yang membuat dia murung sore ini. 2 jam lamanya Derana murung, tetiba ada wanita cantik yang datang menghampiri, seraya mengucapkan "Derana, Der.." Derana masih ternggelam dalam murungnya.
"Deranaaaaaa..." tambahnya, seraya mencubit tangan yang memeluk lutut itu.
"Ee... iya, Mentari ada apa?" Jawab Derana seraya membereskan tasnya.
"Kenapa sendiri di sini? Padahal hari sudah mau berganti, tapi kenapa kamu belum pulang?" tanya Mentari, sambil memamerkan lesung pipinya.
"Aku lagi pengen sendiri," jawab Derana, dengan tatapan kosong ke arah langit yang mulai berubah warnanya.
"Loh, kamu juga kenapa di sini, dan kenapa belum pulang?" Tambah Derana yang mulai sadar bahwa ada mentari di sampinya.
"Gak baik sendirian, sepi, sendu, membosankan tahu ih, ya.. aku tadinya mau pulang cuman lihat kamu, yaudah aku ke sini," ucap Mentari yang mulai duduk.
"Sendiri itu sepi, seperti tempat sampah di depan sana," ketus Derana yang mulai bangkit dari duduknya.
"Kadang ya Der, sesuatu yang sudah kita rencanakan atau bayangan tapi ekspetasi kita terhadap seseorang tidak sesuai dengan apa yang kita kehendak, nah justru disitulah tantangannya," Mentari seraya memegang tangan Derana dengan suara lembutnya.
"Dan benar apa kata kawanku, wanita itu akan menjadi puitis atau bijaksana tat kala langit mulai berubah warna kemerah-merahan," dengan senyum khas Derana seraya menatap Mentari.
"Emang gitu, ya,?" Dibalas senyum manis dari bibir Mentari yang merekah.
"Aku jadi ingat Bapak tua itu," gumam bantin Derana, seraya melepaskan jari-jari tangan Mentari yang memeluk tangannya.
"Ee... Mentari kamu habis dari sini mau ke mana?" Tanya Derana sambil mengajak dia jalan ke arah parkiran tempat motor kesayangan bersantai.
"Aku pulang aja deh, kayaknya, soalnya masih banyak pr yang harus aku kerjakan malam ini," jawab Mentari sembari merapihkan tasnya.
"Bagaimana kalau ikut denganku saja?" Tanya Derana dengan hati-hati.
"Ke mana? Makan? Atau hanya jalan-jalan saja?" Pungkas Mentari yang mulai keheranan oleh ajakan Derana.
Motor kesayangannya dinyalakan. "Ikut aja, makan pasti, jalan-jalan sudah pastilah," balas Derana dengan penuh percaya diri.
"Yaudah deh, tapi janji ya, anterin aku pulang!" Ucap Mentari sembari naik ke motor itu.
"Siap Non Ayu!" Ketus Derana dibarengi motor yang mulai berjalan.
"Hah, apa? Non Ayu?" Tanya Mentari.
"Nanti aku jelaskan, jangan salah paham dulu deh," balas Derana yang semakin percaya diri membonceng Mentari.
Mereka berdua melaju pelan melewati rumah pacar Derana yang terlihat ada motor Benelli Caferace 125 terparkir mesra dengan pot bunga kesayangannya. Tapi Derana mengabaikannya, tak mau moodnya berubah dan menganggu Mentari. 1 jam berlalu, mereka tiba di tempat yang semalam Derana mendengarkan cerita Bapak tua itu.
"Permisi, Pak, Bu?" Sahut Derana dengan mengetuk pintu.
"Rumah siapa ini Der?" Tanya Mentari.
"Rumahnya si Bap..." Belum saja menjawab, Tak lama Bapak membukakan pintunya.
"Nah ini, rumah Bapak ini," jawab Derana seraya bersalaman.
"Walah, Der kamu bawa siapa?" Tanya sang Bapak.
"Saya Mentari, Pak." Mentari memperkenalkan diri dengan sopan.
"Pacar saya pak" ketus Derana yang semakin percaya diri bahwa seolah-olah benar wanita yang di samping itu adalah pacarnya.
"Halah Derana pasti bohong kan, Mentari? Tapi kenapa namanya Mentari kalau malam ini wajahnya murung?" Tanya si Bapak seraya mempersilahkan duduk mereka berdua.
"Iya, Pak. Yang dikatakan Derana benar, tapi saya belum bisa menjawabnya, habisnya kesal dari sekolah tadi dia bilang aku Non Ayu, padahal Ayu itu Ibu kan," jawab Mentari yang jengkel atas tingkah Derana.
"Maksudmu, nama Ibumu Ayu Akcaya?" Tanya sang Bapak sambil minum.
"Iya, Pak. Ayu Akcaya, Bapak teman Ibu dulu? Bapak namanya Agus Gema bukan?" Sahut Mentari yang mulai duduk.
"Apa jangan-jangan, ah masa ini anaknya Non Ayu, sih," ketus Derana dengan keheranan.
"Oalah, Ibu bercerita padamu, Nak?" Tanya Bapak penuh semangat berharap Mentari meng-iya-kan.
"Hari minggu kemarin, saya ikut Ibu ke pasar, dalam perjalanan, Ibu cerita sedikit, yang Mentari tangkap namanya lelaki itu. Yakni Agus Gema, lelaki yang ditolak 6 kali sama Ibu, karena waktu itu Ibu gamau berurusan dengan pacar Bapak, katanya gitu," jawab Mentari seraya melihat-lihat ke langit-langit rumah.
"Sampaikan pada Ibumu, Bapak masih merindukan Ibu," ketus Bapak itu dibarengi tetesan air mata yang jatuh.
"Ah percakapan macam apa ini" Derana yang mulai kesal melihat mereka berdua mengabaikannya.
"Percakapan yang belum diselesaikan antara Bapak dan Ibunya Mentari, Der!" Kata Bapak dengan nada tinggi, diakhiri senyuman menyebalkan.
"Iya, aku tahu soal itu, tapi anehnya seolah-olah aku jadi Bapak waktu muda di sini, dan Mentari jadi Ibunya, hihi," ketus Derana, dibarengi senyuman Mentari.
Mereka berdua (Derana dan Mentari) tenggelam oleh kisah klasik tahun 97 Bapak tua itu. Sampai pada cerita Mentari lahir, dan Bapak Agus itulah yang menemani Ibunya waktu bertaruh antara hidup dan mati yang kita kenal sebagai proses persalinan. Tepat besok tanggal 8 Mei 2020, hari pertama Mentari menangis, disambut tangis bahagia oleh Ibunya, lalu langkah kaki seorang lelaki yang berseragam loreng seraya meletakan tas ransel dan baret kebanggaannya di kain yang penuh darah seraya mengucapkan, "Ayu, terima kasih" dekapan, kecupan di kening masih diingat betul oleh Bapak tua itu. Mentari tak kuat tahan, hingga air mata jatuh ke sepatu putihnya itu. "Pak, Ibu tak bercerita itu, aku sungguh minta maaf," dengan diikuti air mata yang lain, Mentari mulai seguk sampai tak sadar bahwa Bapak tua di depannya itu pahit sekali kisahnya.
Derana yang terdiam, seolah-olah merasakan jadi Lelaki tua itu, "ah sungguh malang kisah cintamu, Pak." Gumam batinnya, seraya menghembuskan rokok yang dihisapnya.
"Mentari, Bapak kamu di mana sekarang?" Tanya Derana.
"Mm, Bapak aku di Jakarta, kata Ibu sedang ditigaskan untuk menjaga istana kepresidenan," jawab Mentari seraya mengelap pipi lesungnya dengan lap yang dibawanya.
"Oalah, semoga tidak terjadi apa-apa," ucap Bapak tua. Di-amini oleh mereka berdua.
Memang pada saat itu, kondisi Negara sedang tidak kondusif, pokoknya tidak kondusif deh, sampai-sampai Bapaknya Mentari harus dikirim ke Jakarta. Kebayang waktu itu genting bagaimana Negara ini. Saat itu, Oktober tahun 2020, Mahasiswa Demontrasi penolakan Undang-undang Omnibus law.
"Pak, Bapak tahu kenapa Mentari diberi nama Mentari saat itu?" Tanya Mentari.
"Bapak tak begitu tahu, semenjak kedatangan Bapakmu, Bapak langsung pergi dari ruangan itu," balas Bapak seraya mengambil handuk untuk Derana.
"Kira aku, Bapak tahu betul," dengan suara imut diakhiri cemberut.
"Aku tahu kenapa kamu diberi nama Mentari," pungkas Derana dengan percaya dirinya. Kebayang kan muka songong dia, hahaha menyebalkan.
"Kenapa?" Tanya Mentari, yang mengarahkan pandangannya ke Derana.
"Karena tadi sore kamu mampu jadi Mentari yang memancarkan cahaya pada lelaki yang sendirian, murung di pojok lapangan, masih ingat tadi sore?" Kata Derana sambil mengambil handuk.
"Ada lagi selain itu?" Tanya Mentari sambil memegang dagu, lalu lesung pipinya mulai dipamerkan pertanda senyuman khas itu akan merekah bak Mentari namanya.
Salah tingkah, Mencari-cari rokok, padahal rokok ditangannya. Dasar Derana. Lalu, "kalau selain itu, mungkin nanti di jalan pulang," ucap Derana dengan senyuman penuh keraguan, hahaha.
Pengarang capek, kegiatan hari ini padat dengan tidur. Seraya memikirkan #bukankhutjumat nya yang selalu rutin dishare setiap hari jumat di stastus WhatsAppnya yang kalau enggak bikin, banyak yang menunggu, jadi kepaksa terus rutin, sampai gatau sudah berapa banyak. Merasa nyesal sih, kenapa gak diabadikan kumpulan #bukankhutbahjumat , ah jadi cerita.
Gitu deh ya, lanjut Jumat depan, seperti biasa pukul 8 malam. Semoga terus berjalan ya, bantu aku pulih dengan komentarmu!
Salam hangat!
Derana mulai jatuh suka, karena Derana percaya pada cinta pandangan pertama...
Sorry, jika banyak tipo. Abaikan dulu ya.
Muahh.
'krek'
BalasHapusBukan, bukan suara tulang ataupun ranting patah. Tapi suara hati saat tau Derana memiliki kekasih. Yah galau aku