"Hujan malam ini membasahi ribuan rumah, mobil, motor, pasar, sekolah, tukang seblak, tukang pentol, stasiun, sukajadi, bojong, warnajati, cibolang, cilubang, cimahi, pakuwon, kamu juga kenangan," Ucap seorang lelaki paruh baya sembari membereskan pakaiannya sebab diguyur hujan.
"Bagaimana bapak bisa sepuitik itu dalam mengutarakan perasaan?" tanya pemuda yang duduk di sampingnya.
"Dulu, Bapak pernah suka sama orang sekarwangi. Tapi, ah, entahlah, enyahlah," Jawabnya, seraya mengambil rokok coklat ekstra.
"Wih, Bapak. Keren sekali seleranya. Nama kampungnya cantik, apalagi orangnya." Pemuda itu menyeruput kopi hitamnya.
"Cantik sih relatif ya, dia perempuan yang bisa bikin Bapak lupa bahwa hati Bapak pernah patah, jadi kepikiran, hadehhh," ujarnya
"Bapak ke dalam dulu ya, ngambil baju," tambahnya seraya melangkahkan kakinya masuk ke dalam.
Sang Pemuda pun menyeruput kopinya hitamnya seraya membayangkan perempuan seperti apa yang telah membuat lelaki gagah itu jatuh cinta.
Tetiba hujan mulai reda, tat kala pemuda itu mau berpamitan, tapi dia masih penasaran bagaimana kelanjutan cerita itu. "Ah, sial," bergumam dalam batinnya.
"Apa-apaan ini? Kata-kata dari Bapak itu telah menusuk pemikiran dangkalku, bajingan!" tegas pemuda dengan merengek.
Suara langkah kaki menandakan si Bapak kembali menghampiri.
"Hey, tadi namamu siapa? Bapak lupa, kamu tidak pulang?" Tanya si Bapak, seraya melanjutkan isapan rokoknya.
"Nama saya, Derana. Di mana saya berpijak, di situlah tempat saya pulang." Dengan elegannya Derana melipat kerah baju tangannya.
Mereka berdua tertawa... "Oh gitu ya, beruntung sekali kamu ini, bujangan sepertimu pasti pandai mengelabui orang ya..." ujar si Bapak sambil cengengesan.
"Hahaha, tentu saja saya bisa, Pak. Hanya saja, saya sudah malas untuk bermain-main. Apalagi, bermain-main dengan perasaan," kata Derana dengan melepaskan sisa-sisa senyumnya.
"Walah, kamu ini, bisa-bisanya buat malam ini jadi hangat bak jalan sama dia kala hujan-hujan gini," lanjut Bapak seraya mengangkat kakinya ke kursi.
"Eh, jadi dibikin penasaran nih sama si Bapak. Memangnya, Bapak suka jalan-jalan sama dia ke mana?" Derana mulai kedinginan, dibakarlah rokok kretek kenangan. Ia menghembuskannya bersama kepulan-kepulan asap penyesalan.
"Tadi sampai mana? Oklah Bapak cerita lagi, tapi, cerita ini banyak ngarangnya Der, jangan terlalu percaya sama Bapak ya" lagi-lagi si Bapak cengengesan menjawabnya.
"Ah, sialan. Dikira nyata seaslinya. Tahu-tahu ada yang direkayasa. Seperti perasaan cinta yang tidak bisa diutarakan," ketus Derana sambil menggaruk-garuk kepalanya—padahal tidak gatal.
"Oh asli dong! Itu hanya Bapak ingin mendengar rengekanmu saja, okelah mari kita mulai," Bapak mulai mengambil napas dalam, sangat dalam pertanda ceritanya sangat sesak pasti.
Derana pun pasang kedua telinganya. Mendengarkan dengan saksama, penuh pengharapan! Kalian yang baca sudah siap sedia dan sudi mendengarkan cerita ini, seperti si Derana?
Tapi setelah 2 menit berlalu, si Bapak masih belum mengucapkan apa-apa. Lantas, Derana menggerutu kesal, "Pak? Bapak? Apa Bapak jadi ceritanya?
Syahdan, dengan suara paraunya itu Bapak menjawab ; "Sebentar Der, Bapak mengumpulkan dulu puing-puing ingatan yang penuh sesak itu,"
"Siap, Pak. Saya menunggu dengan lapang," kata Derana sambil menghisap rokok kretek kenangannya.
Bayangkan betapa kesalnya jadi Derana, Hahahaha Derana menunggu dengan lapang, masa kalian tidak.
"Semenjak ketemu dia, Bapak ngobrol banyak, sampai lupa perkenalan, lalu, entah jantung atau hati yang berdegup lebih kencang dari biasanya, tiba diobrolan dan saling mengenalkan diri masing-masing, tidak disebutkan kekurangan kami, dulu tahun 97," dengan kencang Bapak melemparkan puntung rokoknya.
"Pada tahun-tahun itu, bukankah mahasiswa-mahasiswa sedang berkonspirasi untuk memulai reformasi?" tanya Derana dengan sedikit hati-hati.
"Ya betul sekali, tapi waktu itu Bapak masih duduk di bangku SMA, Persatuan Guru Agama (PGA) Cibadak, kenal dia di SMA itu," dengan berharap tidak menitikan air mata, Bapak mulai pelan-pelan.
"Di sana, Bapak menemukan wanita seperti dia? Bagaimana rupa-rupanya? Penasaran, deh!" Derana dengan rasa penasarannya yang tinggi, meledak-ledak bertanya tanpa spasi.
"Ya di sana, setelah Bapak berkenalan dengan dia, lalu bapak diajak ke kantin, kantin waktu itu hanya ada gorengan dan minuman ala kadarnya saja, sedikit membuat dia kesal, oh iya, perempuan itu bernama Ayu," Bapak kehabisan rokok, mau beli hujan, mintalah ke Derana.
Derana pun memberikan rokok kretek kenangannya. "Oh, Non Ayu, toh. Namanya cantik, apalagi parasnya. Pantas saja Bapak sudah jatuh cinta duluan," ujar Derana. "Cielah, gorengan kantin saksi bisunya. Hahaha."
"Ayu. Ayu jajan, Ayu main, Ayu pulang, itulah candaan ringan Bapak yang buat dia terseyum," Seraya membakar rokok yang diberikan Derana, Bapak melanjutkan. "Bukan namanya yang buat Bapak jatuh cinta, bukan juga parasnya, tapi senyumannya. Sampai-sampai Bapak bungkus sama gorengan itu, kebayang gak sama kamu Der, betapa malunya gorengan itu disandingkan dengan senyuman Ayu," si Bapak tersenyum sambil menghembuskan kepulan-pulan asap penuh sesak itu.
Tawa meledak di bibir Derana, menggila, menembus kebisingan jalanan Labora.
"Maaf, Pak. Ketawaku bikin orang ketar-ketir. Habisnya, kocak banget. Kok, ada gitu, ya, perasaan-perasaan tersirat dalam candanya Bapak." Derana masih saja tertawa dengan terbahak-bahak.
"Oalah, Non Ayu. Andai saja aku ada di sana, pasti aku jadi gorengannya," celetuk Derana dengan percaya diri.
Derana semakin khidmat mendengarkan.
"Gatau kenapa, seperti Bapak jatuh cinta padanya, bibir Bapak pun membantu untuk jadi topingnya," Bapak pelan-pelan mencoba terbiasa.
"Persis apa kata kawan Bapak Der, entah jadi apa gorengan itu, malah nih, yang lebih parah kata kawan Bapak, goreng pisang yang awalnya manis jadi asin karena malu ada yang lebih manis darinya, sampai-sampai goreng bakwan jadi ikutan manis, aneh-aneh aja mereka," Ayu, ayu, andai... Bapak mengerutu.
"Gila parah, sih. Non Ayu begitu manisnya. Apa Bapak nggak kena diabetes, Pak? Bapak sering minum tropicana slim supaya tidak diabetes? Atau terus-terusan mendambakan Non Ayu hingga lupa bahwa Bapak sebentar lagi terserang diabetes?" Pertanyaan Derana membingungkan sang Lelaki Paruh Baya itu.
"Diabetes itu hanya datang sebelum tidur, membayangkan betapa manisnya Ayu," seraya menyeduhkan kopinya.
"Jadi, kalau begitu, rindu itu adalah diabetes, ya, Pak?" tanya Derana dengan keheranan. "Setelah membayang-bayangkan Ayu, apakah malam-malam Bapak menjadi berkelap-kelip seperti lampu-lampu Agustusan?" Derana menghela napas seraya membuang puntung rokoknya.
"Rindu itu menjadi diabetes karena kamu mendengarkan cerita Bapak Der, menurut Bapak rindu itu seperti kemarau lengkap dengan kataknya yang setia menunggu hujan turun dan rindu itu seperti surga yang merindukan manusia beriman," Ucap Bapak seraya menyeruput kopinya.
"Ah, Bapak. Aku kehilangan kata. Terpaut riang di dalam mantra yang Bapak ucapkan. Hahaha." Derana tertawa. "Apa Non Ayu juga sama seperti saya, ya, Pak? Tersihir pada gaya bahasa yang Bapak cipta."
"Mungkin iya, mungkin tidak, sebab..." Bapak pelan-pelan sekali mengucapkannya, musabab mendengar perempuan datang menghampiri mereka berdua. Lalu "ini istri saya Der,"
"Sebab apa, Pak?" Derana menggerutu kesal. "Oh, kenalkan, Bu. Nama saya Derana."
"Oh Derana, sudah lama di sini?" Ucap Istri si Bapak.
"Sebab, setelah Bapak menjalin hubungan dengan dia, perempuan yang di depan kamu ini menghancurkan hubungan Bapak dan Ayu, Derrr," sambil berbisik ke Derana dengan nada kesal.
"Satu jam yang lalu, Bu," jawab Derana penuh dengan rasa sopan.
"Oh, lanjutkan saja kalau emang kalian lagi ngobrol. Pak, Ibu masuk ke dalam ya," seraya masuk perempuan itu.
"Arggghhh... Ingin sekali aku bakar perempuan di depanmu, Pak. Hanya saja, nanti saya dianggap sebagai anarki. Saya tidak ingin. Saya hanya ingin cinta dan dicintai!" gumam kesal membuncah dari mulut Derana, terdengarlah ke beranda rumah.
Perempuan yang baru saja masuk, tiba-tiba keluar lagi sambil mengajak masuk si Bapak. "Pak ikut ibu, sini, ayo!" Dengan tegas perempuan itu menarik si Bapak.
Derana hanya diam terpaku menganga menyaksikan perbuatan istri sang Bapak yang begitu keras dan kasar seperti para buruh yang kesal dengan majikannya.
Tak lama Bapak kembali keluar.
"Der, ini sudah malam, masalah Ayu, besok atau lusa kamu ke sini lagi, atau lain kali tukeran kamu yang cerita ya. Repot, kalau sudah ada istriku," ujar Bapak sambil menggelengkan kepalanya.
"Masa Bapak takut sama istri, sih? Hahaha. Salam dariku, ya, Pak. Bilang ke istri Bapak, ini cuma khayalan semata Bapak saja, bukan kenyataan." Derana tertawa, lalu menghidupkan motor Astrea.
"Heuuu.... kamu ini, sudah sana," seraya meleparkan sandal ke arah Derana. "Hati-hati, kau!" Teriakan Bapak menggema di telinga Derana.
"Hahaha, besok-besok saya kembali lagi. Tapi, akan sedikit berbeda. Saya akan membawa Non Ayu yang nyata ke sini. Doain, ya, Pak!" ucap Derana dengan lantang, hingga terdengar ke telinga Bapak dengan jelas.
Motor pun dinyalakan. Derana, lekas pulang.
Bapak masuk disambut dengan omelan Istrinya.
Setengah perjalanan, ia melamun, "Sialan, begitu indahnya cinta! Membuat bapak-bapak tua itu masih saja tetap membara. Aku kapan?" Klakson truk berbunyi kencang seolah menjawab pertanyaan itu.
Dan sampai saat ini hujan masih menguyur ribuan rumah, sekolah, mesjid, jalanan, tukang sekoteng, tukang bandrek, kucing, Ayu juga kenangan.
Malam makin larut kala Derana tiba di rumahnya.
Bersambung....
Maaf apabila ada kata yang menyinggung hati kawan-kawan sekalian. Banyak tipo dan salahnya karena tidak ada penyunting/editor di sini hahaaha.
Pengarang Cerita Arif dan Sahal
Arif sebagai Derana dan Sahal sebagai Bapak tua yang malam ini tidur tidak satu ranjang.
Terima kasih yang sudah membaca sampai akhir, semoga menghibur, pamit.
Akhir kata, salam bahagia!
Perlu bikin lagi gak? Kalau perlu berikan kekuatan kalian di kolom komentar, percayalah itu bisa membantu aku pulih kembali. Cup cup muah
Wah sangat inspiratif yah
BalasHapusWahh, sampe ikut terhanyut kedalam kisah si bapak sama ayu 🥺
BalasHapus