Langsung ke konten utama

Dilema


Sulit sekali memang harus merahasiakan perasaan darimu, Mentari. Tadinya aku ingin menyimpannya sendiri kala bertemu di lorong kelas itu. Tapi tidak jadi karena ada banyak semut di lesung pipimu.

Malam hari ini, aku putuskan untuk menulis cerita ini. Namanya Mentari, siswi kelas tiga pindahan dari Jakarta. Yang berhasil membuat aku tersipu malu, lagi-lagi dengan tingkahnya yang lucu, penampilannya yang menarik, rambut sehelai bahu, diikat yang menghasilkan poni dengan rapih lengkap sudah disebelah kiri ada jepitan berwarna merah jambu dibarengi  senyuman khasnya.

Sebenarnya aku merasakan dejavu yang kencang. Saat kamu mengatakan, "Hai... kamu enggak apa-apa? Boleh aku obatin luka di tanganmu itu?" Kalimat itulah yang membuat jantung entah hati yang berdegup lebih kencang dari biasanya. "Gausah.. aku mau ke Uks kok, terima kasih," jawabku.  Sampai di Uks, pintu terbuka lebar, diketuk beberapa kali tapi masih enggak ada sahutan dari dalam. Lima menit berlalu, wanita yang tadi menawarkan dirinya untuk menolongku. Tiba-tiba muncul di hadapanku, dan masuk ke ruangan tempat di mana siswa-siswi yang sakit berbaring di sana. "Masuk aja, kebetulan aku dijadwalkan piket hari ini," seraya memakai sarung tangan medis yang siap-siap mengambil obat. "Iya.. kak," jawabku.
"Panggil saja Mentari, Mentari yang cerah di hari ini," dengan logat Jakarta yang maksa bercanda.
"Iya.. kak,"
Dia kelihatan lebih cantik ternyata dari dekat. Aneh, masa ada orang yang mau ngobatin luka, cantiknya bertambah. Sepengalaman aku dulu waktu dibawa ke rumah sakit, dokter atau perawat wanita itu jelek dan menyeramkan. Mau secantik apapun dia kata orang, bagiku setiap apapun yang membuat sakit, ya menyebalkan. Tapi Mentari beda, hahaha dasar.

"Di mana kamu jatuh?" Tanya Mentari.
"Sakit, pelan-pelan, Mentari..."
"Jatuh di mana kamu? Parah gini lukamu,"
Mentari menghiraukan kesakitanku, meski begitu, aku tahu dia melakukannya karena atas dasar peduli dan melihat tanganku yang terluka ini. "Kamu aku tanya, jatuh di mana? Lah, di kaki juga ada luka? Kamu jatuh di mana...." Mentari yang terfokus mengobati luka di tanganku. Kita berdua terhanyut dalam suasana sepi Uks. Sampai ada yang mengetuk pintu pun tidak terdengar oleh kita.  Setelah Mentari selesai mengobati luka dan dibungkus lah oleh kain berwarna putih sembari dilengkapi obat merah di dalamnya. Aku mengambil minum kemudian ada seorang wanita yang datang menghampiri aku dan Mentari. Ane, ya dia pacarku.  "Kamu jatuh di mana? Kok sampai parah begini," serontak Ane melihat luka yang ada di tangan dan di kaki ku.
"Makasih ya, kak." Ucapku seraya mengajak Ane pergi dari ruang Uks.
"Iya, sama-sama," balas Mentari.
"Mentari..... terima kasih," teriakan Ane terdengar jelas nama Mentari ditelingaku.
"Aku, jatuh di motor tadi pagi. Buru-buru karena takut kesiangan,"
"Ada-ada aja kamu, makannya kalau dibangunin sama Ibu itu jangan susah."
"Kamu tidak meneleponku tadi pagi."
"Ya... maaf, abisnya aku juga buru-buru," kata Ane.

Sebenarnya, aku ingin lebih lama lagi dengan Mentari. Karena merasa nyaman saja saat ada di sampingnya, entah apa yang ada di dalam dirinya, sampai aku menulis cerita ini.  Ah, Mentari.

"Apa ini yang disebut cinta pandangan pertama?" Seraya menutup laptopnya, kemudian melamun dan terlelap tidur.

*****

Tiba dipukul 9 malam, Derana melihat Mentari yang mulai tidak enak diam, mungkin karena tidak biasa malam larut begini belum juga pulang. Tapi Derana enggak mengajaknya pulang juga, dia hanya menunggu ajakan pulang dari Mentari.

Tetiba Derana keingat Ane, kenapa ada motor keren itu terparkir rapih di teras rumahnya. "Der, kapan kita pulang?" Tanya Mentari.
"Aku gimana kamu, kamu mau pulang kapan?"
"Sebentar lagi deh, tunggu Pak Agus keluar,"
"Yaudah, oke lah,"
Mereka saling diam, sesekali menatap satu sama lain dengan keheningan malam di rumah Pak Agus itu. Tapi Derana masih terus memikirkan Ane, dan siapa yang datang ke rumahnya tadi sore. Meski begitu, Derana tetap bersih keras tidak mau Mentari sampai tahu persoalan dia sama Ane.

Ane, sama dengan Derana siswa kelas 3. Bedanya Ane yang lebih perhatian dan sayang ke Derana. Beda dengan Mentari dan Derana, itu bisa dibilang sebaliknya. Tapi Derana yakin, dia enggak akan secepat itu untuk bisa mendapatkan Mentari, karena ya, Mentari tipikal orang seperti Ibunya, gamau menggangu hubungan orang lain, meski Mentari belum tahu kalau Derana sudah punya pacar.

"Kalian kapan pulang?" Ucap Pak Agus.
"Kebetulan sekali Pak, aku dan Derana mau pamit ketika Bapak keluar," balas Mentari.
"Iya pak"
"Yasudah, kalau mau pulang sekarang, pulang saja sebelum hujan turun,"
Mereka berdua berpamitan, motor Derana mulai menyala, dan sudah siap membonceng Mentari yang dalam perjalanan kali ini akan sedikit gugup karena ya Derana mulai jatuh suka.

"Kami pamit pak," Mentari seraya bersalaman.
"Hati-hati ya, Der. Antar Mentari, jangan sampai pulang sendirian, Mentari.."
"Iya pak?"
"Salam ke Non Ayu, ya.."
"Non Ayu lagi, Non Ayu," ketus Derana dengan nada tengilnya.
"Maksud Bapak, Ibu. Sampaikan sama Bapak Ke Ibu kamu ya,"
"Baik Pak, terima kasih, kami akan kembali lagi ke sini, mungkin sama Ibu juga," Mentari yang mulai menaiki motor Derana lalu mendekap, sampai Derana tersenyum malu. "Kala cinta mengoda," dalam bantinnya.

Menyusuri Labora, dengan bisingnya kendaraan malam. Mereka berdua terdiam, hanya suara motor astrea yang terdengar sesekali klakson truk yang mengagetkan mereka berdua. Tiba depan pagar rumah Mentari, Mentari turun dan bilang, "lain kali, kalau ada apa-apa cerita, jangan dipendam sendiri, ya. Gak baik kalau kata Ibu aku," kata Mentari.
"Emang kamu tahu apa yang aku sembunyikan?"
"Ya tahulah, melihat mukamu dari tadi kerut penuh pikiran, cuman aku mau nanya gaenak juga. Tapi besok-besok cerita ya, kita cari solusinya berdua," ucap Mentari, seraya memegang tangan Derana.
"Oke, Aku besok cerita ya, aku tunggu di kantin," balas Derana, yang mulai meninggalkan Mentari.

Tiba di rumah, Derana disambut dengan masakan Ibu yang sudah siap disantap di meja makan. "Bersih-bersih, langsung makan, Ibu beresin baju dulu di kamarmu,"
"Iya Ibu..."
Derana mulai mengambil nasi dan mulai makan, ya lapar, karena energi dan perasaan sudah dioyak-oyak oleh perkataan Mentari dari sore hingga diantarnya pulang.
"Gimana sekolahnya, seru atau ada masalah?" Tanya Ibu.
"Kenapa bertanya ada masalah,"
"Kenapa ada masalah apalagi sama Ane?" Seolah-olah Ibu tau benar kejadian seharian tadi.
"Ada motor terparkir di rumah Ane, Bu,"
"Motor siapa?"
"Ya.. gatau,"
"Kok gatau, aneh. Atau kamu dekat dengan yang baru?"
"Enggak," singkat yang membuat Ibu geram dengam tingkah anaknya.
"Yasudah kalau gamau cerita sama Ibu. Tapi, besok kan libur, ajak Ane ke sini, Ibu kangen udah lama gak ketemu,"
"Ane terus..." gerutu Derana.
"Ya Ibu tahunya Ane, pacar kamu satu-satunya kan Ane?"
"Iya Ane pacarku,"
"Iya besok ajak main ke sini, bawa Ibu mau ketemu,"
"Ya besok, aku ajak ke sini,"

Derana dilema, tadi sebelum sampai di rumah. Mentari mengajaknya bertemu. Barusan Ibu suruh ajak Ane ke rumah. Ane dan Mentari membuat pikirannya berantakan malam ini, mana hapenya belum selesai diperbaiki. Membuat dia kesepian karena gak bisa saling sapa sebelum tidur dengan Ane. Dan nama Mentari yang muncul dipikirannya.

"Kala cinta menggoda, selamat malam," Derana yang mulai menarik selimutnya.


Ane yang malam ini kedinginan karena sudah beberapa malam tak ada sapaan dari pacarnya. Dan Mentari yang merasa hangat karena ada lelaki yang gak berani bicara soal hatinya, yang sesekali membuat dia tersenyum dengan salah tingkahnya Derana saat di dekatnya.

Maaf diundur ya, kemarin aku mulai ngampus lagi. Harap dimaklumi, masih amatiran gini.

Ohiya, tadinya mau sekalian sama part keempat. Tapi jumat depan deh, ya.

Abaikan tiponya, terima kasih sudah berbagi energi positif denganku. Pliss kasih komentar, percayalah itu bisa membantuku pulih.

Ane dan Mentari lagi apa ya...

Hahaha, sampai ketemu lagi.
Salam hangat!








Komentar