Langsung ke konten utama

Berakhir pada pukul lima sore

Tetiba kehidupan berakhir dipukul lima sore, kenapa kemudian, sebab setelah pukul lima sore, aku akan mengabari semua pesan yang masuk diWhatsApp. Jadi pada saat itu aku merenung, sejenak menikmati keindahan di sekelilingku, menghargai langit yang berubah warna dari biru-abu kelabu hingga kemerah-merahan. 

Jam sebelas malam aku kepikiran sudah hidup seperempat abad atau menuju seperempat abad akan membuat kita bergidik kencang seraya berkata, “Duh.. amit-amit deh, ripuh pisan”. Pada masa ini, hampir semua manusia dengan umur dewasa awal akan diuji sedemikian rupa. Masing-masing akan diuji dengan cara dan kondisi yang berbeda, sehingga sharing soal pengalaman melewati krisis seperempat abad ini banyaknya tidak dibutuhkan, yang banyak dibutuhkan adalah cukup diterima, ditemani, didengarkan, dan didukung. Tidak dibiarkan dan membiarkan diri sendiri kesepian adalah kunci utama dalam melewatinya.

Kunto Aji dalam liriknya bilang, “Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?”. Kita akan menjumpai malam-malam yang rasanya panjang dan resah sehingga tak dapat tidur hingga pagi hari untuk sekedar overthinking dan overfeeling. Pikiran kita cuma akan berteriak dan bertanya, “Apa aku sudah tidak waras? Apa aku sedang depresi? Apa aku perlu bantuan psikolog?”. Karena hidup kita saat itu cuma dipenuhi pertanyaan dan kekhawatiran.

Biasanya dalam masa ini kita akan dihadapkan dengan banyak pilihan atau tuntutan. Di dalam pilihan-pilihan tersebut terdapat konsekuensi dengan dampak yang berbeda secara signifikan bagi hidup kita dalam jangka panjang. Hebatnya lagi, apapun yang kita pilih harus dipertanggung jawabkan cuma oleh diri sendiri. Kadang-kadang sok dewasa, tapi tidak siap untuk dewasa. Di situlah biasanya tuntutan-tuntutan akan masuk. Kali ini Nadin Amizah yang bilang, “Bun, hidup berjalan seperti bajingan” demikian adanya.

Katakanlah kalau kita punya tujuan, sepertinya akan lebih mudah untuk memilih pilihan hidup. Tapi eh tapi.. sudah siap berlomba dengan waktu? Waktu tidak akan kompromi menunggu kita untuk siap. Tadinya hidup yang cuma haha-hihi kemudian dipaksa untuk sat-set-sat-set. Kalau begini urusannya, siapa yang tidak kaget dan kelabakan. Iya, manusia memang punya timeline masing-masing dan bukan seharusnya jadi pembanding. Namun, menyesuaikan waktu (khususnya umur) terhadap orang-orang terdekat dan tersayang bersamaan dengan keinginan diri sendiri juga belum tentu bisa kita kejar.

Belum lagi, kondisi-kondisi tak terduga beserta hambatan a,b,c,d sampai z, faktor x dan y di luar jangkauan manusia, kesempatan, kegagalan, ketertinggalan, dikecewakan, yang seolah tiada habis menyoraki diri kita. Siap-siap saja untuk persediaan tisu di kamar, juga siap-siap dana cadangan untuk healing dan beli jajanan enak pelipur lara.

Bahumu harus kuat, berdirimu harus tegak, ucapanmu harus lantang, tekadmu harus yakin, niatmu harus lurus, dan jalanmu harus baik. Walau rasanya ketar-ketir, oleng, dan melangkah saja tertatih.

Manusia yang ego, tercipta dengan satu hati dan satu kepala dipastikan tidak akan mampu membahagiakan semua manusia yang ia temui dalam hidupnya. Sekeras apapun ia ingin, sekeras apapun ia berusaha. Tapi pedoman yang bisa kita pakai adalah memperkecil kadar kecewa dari manusia yang tidak bisa kita bahagiakan. Meskipun itu juga sulit, tapi layak untuk diusahakan. Manusia-manusia dewasa akan paham dan elegan dalam bertingkah laku.

Yakinlah dan berbahagialah, setelah melewati itu semua kita akan mengubah cara memandang dunia dan menjumpai siapa saja manusia yang benar-benar bertahan menerima kita apa adanya. Lagi-lagi Nadin Amizah bertutur “Bun, kalau saat hancur ku disayang, apalagi saat ku jadi juara”. Saat itu kita akan paham siapa yang benar-benar pantas untuk dibahagiakan, serta siapa dan apa yang pantas membuat kita bahagia.

Komentar