Hindia bilang dalam liriknya, “kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?”. Aku menjumpai malam-malam yang rasanya panjang dan resah sehingga tak dapat tidur hingga pagi hari pada tahun ini, untuk sekadar overthinking dan overfeeling itu menjelma bak lampu kamar kost. Pikiranku, cuma berteriak dan bertanya, “Apa aku sudah melakukan hal-hal yang bermanfaat?”, “Apa aku sudah tumbuh dengan baik?”, “Apa aku sudah menebar serta kutabur cinta dengan lapang di tahun ini?”. Seharusnya pertanyaan itu tak datang dipenghujung tahun ini. Tapi, tak apalah, toh dalam hidup itu perjalanan, ada yang meninggalkan juga ada yang ditinggalkan, meski berat itu terjadi. Seharusnya juga aku tidak menyakiti orang-orang yang sayang dan juga aku sayangi. Baiklah, mari kita mulai, semoga bisa mewakili kamu yang sama denganku.
Tiba pada bulan January, harapanku dulu sederhana, hanya ada dua; pertama, aku ingin sehat dan bahagia. Kedua, aku ingin lebih banyak minum air putih. Hanya itu, bagiku tidak sepele karena sehat dan bahagia itu butuh-kebutuhan yang harus tercukupi, apalagi aku seorang lelaki. Kebutuhan-kebutuhan itu adalah primer, sekunder dan tersier. Lebih simpelnya sandang, pangan dan papan. Oke, kebutuhan primer bagiku berupa makanan, minuman, fast food dan lain-lain. Lalu kebutuhan sekunder bagiku berupa alat transportasi, pakaian, sepatu, sandal, tas, aksesoris dan lain-lain. Dan yang terakhir kebutuhan tersier bagiku berupa benda-benda informasi seperti handphone dan pencarian kesenangan seperti pergi ke alam bebas, olahraga dan milikin kamu pastinya.
Puji syukur aku telah mengenyam dan merasakan itu semua pada tahun ini meski berat tapi aku survive dengan hal-hal yang kadang bikin aku kesal, anehnya lagi aku dipaksa untuk menyukainya, lebih berat tapi menyenangkan. Perjalananku sebagai mahasiswa semester tiga transisi ke semester empat yang mana itu membuatku dilema, antara tetap dikelas karyawan atau pindah ke kelas regular. Dugaanmu benar kali ini aku pindah ke kelas regular, karena seperti apa yang kamu lihat di akun media social aku satu tahun terakhir ini, aku terus disibukkan dengan hal-hal positif dan semoga bermanfaat bagi sekitar.
Berdiaspora, kata yang paling tepat untuk memulai learning, growth juga success (semoga ya, soalnya kalau success karena tidak bisa digeneralkan). Aku mulai belajar jadi mahasiswa seutuhnya setelah mengenal Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau sering disebut PMII, tapi sebelum jauh ke sana aku mulai pdkt dengan Jurnalis Nuansa. Jurnalis Nuansa merupakan media pres juga sebagai badan otonom dari Universitas NSP. Ya, saat itu aku tertarik dan jatuh cinta hingga masuk menjadi dari bagiannya. Seleksinya terbilang mudah bagiku, Karena ya mungkin aku sudah terbiasa mengikuti segala hal tentang kepenulisan atau pemberitaan, macam gitulah. Selama kurang lebih enam bulan aku terus membuat memberitaan seputar kampusku, dan digadang-gadang akan mencalon diri sebagai ketua umum dari salah satu ormawa tersebut. Itu digoreng cukup lama oleh kawanku, malunya lagi pas di tempat umum seperti di kantin, di auditorium, di tanam dan lain-lain. Keadaan social pressure itu tidak perlu diucapkan kepadaku, itu sudah tercipta secara langsung oleh rasio, empiris dan hatiku sendiri. Setiap hari kamis aku ditugaskan untuk piket mingguan dalam artian bahwa harus mencari isu atau apa yang harus diberitakan oleh aku dan patherku. Oh iya, aku ditugaskan sebagai redaktur. Penyusun pemberitaan yang setelah disetorkan oleh reporter atau patherku tadi. Dan yang paling enggak expect itu aku masuk sebagai nominasi redaktur terfavorit meski tidak keluar sebagai juaranya, wah, itu menjadi kebanggaan bagi diri sendiri. Tabik! Pak Sahal.
*****
Glenn Fredly bilang dalam liriknya, “kasihku, sampai di sini kisah kita jangan tangisi keadaannya. Bukan karena kita berbeda”. Kita berpisah.
Aku masih ingat betul kala itu sedang susah tidur dan alasannya adalah kamu. Bagaimana tidak kuingat, kepingan-kepingan kemesraan itu selalu muncul, terkenang di tempat duduk favoritku, ya benar, ruang tamu rumahmu. Wangi khasmu, saat pelan-pelan dengan lembut kau mengelus pipiku, mencium bibirku, memelukku sembari selalu kau bisikan tiga kata itu, sebelum kau akhiri dengan tamparan di pipi bekas kau kecup ini kasih. Padahal aku tidak selingkuh, aku hanya sekadar mengabari teman wanitaku yang lain, karena waktu itu dirasa penting bagiku, apalagi tentang perkuliahan. Tapi kenapa kamu secepat itu memutuskan untuk menamparku hingga aku pergi dan menghilang darimu. Lalu kamu bilang aku jahat, aku pengecut, aku tolol. Sedangkan kamu tidak mau mendengar penjelasanku, padahal hanya butuh waktu dua menit bagiku untuk menjelaskan siapa wanita itu sebenarnya. Dasar kamu, masih terus dengan sifat keras kepala itu. Aku menjalani hari sepi-sepi tanpamu, menggambar kesunyian dengan hening yang berisik, melukis pelanggi kehampaan dengan warna kesukaanmu. Sekali lagi, tanpamu aku bak Tomy Shelby yang berduka cita atas kepergiaan kekasihnya, difilm Peaky Blinders.
Meski tidak mudah, aku selalu bilang padamu, “jangan gampang mendefinisikan aku, karena kalau begitu, kamu akan stuck oleh definisimu itu”. Kamu terus mengabaikan setiap aku mengucapkannya kala pertenggkaran hebat terjadi, hingga telapak tangan itu landing sangat keras dipipiku, aku langsung pergi meninggalkan makanan dan minuman kesukaanmu, selalu kubelikan di tempat biasa tak jauh dari gang menuju rumahmu. Meski tidak mudah bagiku, mungkin juga bagimu. Tak lama dari kepergianku, kamu mengirimkan pesan yang masuk lewat WhatsAppku. Begini isi pesannya, “hey, balikan yuk! Aku bisa ngerti kamu sekarang, aku udah siap sekarang, maafin aku, pliisss balikan ya” , kira-kira begitu kalau tidak salah. Membaca pesan itu, kebetulan sekali aku sedang di tempat di mana aku suka beli minuman kesukaanmu, aku kirim poto minuman itu. Tapi kau tak membalasnya, padahal aku bisa saja luluh waku itu. Ah, dasar aku.
Lalu, bulan-bulan kemarin. Aku coba menanyakan kabar tentangmu, dan kamu balas dengan kalimat sedikit menghunus hatiku juga membuatku bahagia, “aku udah punya pacar, kamu harusnya ngerti”, balasnya.
Jika kamu baca tulisan ini, aku harap kamu tetap jadi yang terbaik, dan gimana kamu udah bisa sendiri di angkutan umum? Sehat selalu walau tak sehati. Piuuuuuu. Satu lagi, aku menulis ini hanya mengulang saja apa yang terjadi di January 2022, bukan untuk minta balikan.
Tiba pada bulan January, harapanku dulu sederhana, hanya ada dua; pertama, aku ingin sehat dan bahagia. Kedua, aku ingin lebih banyak minum air putih. Hanya itu, bagiku tidak sepele karena sehat dan bahagia itu butuh-kebutuhan yang harus tercukupi, apalagi aku seorang lelaki. Kebutuhan-kebutuhan itu adalah primer, sekunder dan tersier. Lebih simpelnya sandang, pangan dan papan. Oke, kebutuhan primer bagiku berupa makanan, minuman, fast food dan lain-lain. Lalu kebutuhan sekunder bagiku berupa alat transportasi, pakaian, sepatu, sandal, tas, aksesoris dan lain-lain. Dan yang terakhir kebutuhan tersier bagiku berupa benda-benda informasi seperti handphone dan pencarian kesenangan seperti pergi ke alam bebas, olahraga dan milikin kamu pastinya.
Puji syukur aku telah mengenyam dan merasakan itu semua pada tahun ini meski berat tapi aku survive dengan hal-hal yang kadang bikin aku kesal, anehnya lagi aku dipaksa untuk menyukainya, lebih berat tapi menyenangkan. Perjalananku sebagai mahasiswa semester tiga transisi ke semester empat yang mana itu membuatku dilema, antara tetap dikelas karyawan atau pindah ke kelas regular. Dugaanmu benar kali ini aku pindah ke kelas regular, karena seperti apa yang kamu lihat di akun media social aku satu tahun terakhir ini, aku terus disibukkan dengan hal-hal positif dan semoga bermanfaat bagi sekitar.
Berdiaspora, kata yang paling tepat untuk memulai learning, growth juga success (semoga ya, soalnya kalau success karena tidak bisa digeneralkan). Aku mulai belajar jadi mahasiswa seutuhnya setelah mengenal Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau sering disebut PMII, tapi sebelum jauh ke sana aku mulai pdkt dengan Jurnalis Nuansa. Jurnalis Nuansa merupakan media pres juga sebagai badan otonom dari Universitas NSP. Ya, saat itu aku tertarik dan jatuh cinta hingga masuk menjadi dari bagiannya. Seleksinya terbilang mudah bagiku, Karena ya mungkin aku sudah terbiasa mengikuti segala hal tentang kepenulisan atau pemberitaan, macam gitulah. Selama kurang lebih enam bulan aku terus membuat memberitaan seputar kampusku, dan digadang-gadang akan mencalon diri sebagai ketua umum dari salah satu ormawa tersebut. Itu digoreng cukup lama oleh kawanku, malunya lagi pas di tempat umum seperti di kantin, di auditorium, di tanam dan lain-lain. Keadaan social pressure itu tidak perlu diucapkan kepadaku, itu sudah tercipta secara langsung oleh rasio, empiris dan hatiku sendiri. Setiap hari kamis aku ditugaskan untuk piket mingguan dalam artian bahwa harus mencari isu atau apa yang harus diberitakan oleh aku dan patherku. Oh iya, aku ditugaskan sebagai redaktur. Penyusun pemberitaan yang setelah disetorkan oleh reporter atau patherku tadi. Dan yang paling enggak expect itu aku masuk sebagai nominasi redaktur terfavorit meski tidak keluar sebagai juaranya, wah, itu menjadi kebanggaan bagi diri sendiri. Tabik! Pak Sahal.
*****
Glenn Fredly bilang dalam liriknya, “kasihku, sampai di sini kisah kita jangan tangisi keadaannya. Bukan karena kita berbeda”. Kita berpisah.
Aku masih ingat betul kala itu sedang susah tidur dan alasannya adalah kamu. Bagaimana tidak kuingat, kepingan-kepingan kemesraan itu selalu muncul, terkenang di tempat duduk favoritku, ya benar, ruang tamu rumahmu. Wangi khasmu, saat pelan-pelan dengan lembut kau mengelus pipiku, mencium bibirku, memelukku sembari selalu kau bisikan tiga kata itu, sebelum kau akhiri dengan tamparan di pipi bekas kau kecup ini kasih. Padahal aku tidak selingkuh, aku hanya sekadar mengabari teman wanitaku yang lain, karena waktu itu dirasa penting bagiku, apalagi tentang perkuliahan. Tapi kenapa kamu secepat itu memutuskan untuk menamparku hingga aku pergi dan menghilang darimu. Lalu kamu bilang aku jahat, aku pengecut, aku tolol. Sedangkan kamu tidak mau mendengar penjelasanku, padahal hanya butuh waktu dua menit bagiku untuk menjelaskan siapa wanita itu sebenarnya. Dasar kamu, masih terus dengan sifat keras kepala itu. Aku menjalani hari sepi-sepi tanpamu, menggambar kesunyian dengan hening yang berisik, melukis pelanggi kehampaan dengan warna kesukaanmu. Sekali lagi, tanpamu aku bak Tomy Shelby yang berduka cita atas kepergiaan kekasihnya, difilm Peaky Blinders.
Meski tidak mudah, aku selalu bilang padamu, “jangan gampang mendefinisikan aku, karena kalau begitu, kamu akan stuck oleh definisimu itu”. Kamu terus mengabaikan setiap aku mengucapkannya kala pertenggkaran hebat terjadi, hingga telapak tangan itu landing sangat keras dipipiku, aku langsung pergi meninggalkan makanan dan minuman kesukaanmu, selalu kubelikan di tempat biasa tak jauh dari gang menuju rumahmu. Meski tidak mudah bagiku, mungkin juga bagimu. Tak lama dari kepergianku, kamu mengirimkan pesan yang masuk lewat WhatsAppku. Begini isi pesannya, “hey, balikan yuk! Aku bisa ngerti kamu sekarang, aku udah siap sekarang, maafin aku, pliisss balikan ya” , kira-kira begitu kalau tidak salah. Membaca pesan itu, kebetulan sekali aku sedang di tempat di mana aku suka beli minuman kesukaanmu, aku kirim poto minuman itu. Tapi kau tak membalasnya, padahal aku bisa saja luluh waku itu. Ah, dasar aku.
Lalu, bulan-bulan kemarin. Aku coba menanyakan kabar tentangmu, dan kamu balas dengan kalimat sedikit menghunus hatiku juga membuatku bahagia, “aku udah punya pacar, kamu harusnya ngerti”, balasnya.
Jika kamu baca tulisan ini, aku harap kamu tetap jadi yang terbaik, dan gimana kamu udah bisa sendiri di angkutan umum? Sehat selalu walau tak sehati. Piuuuuuu. Satu lagi, aku menulis ini hanya mengulang saja apa yang terjadi di January 2022, bukan untuk minta balikan.
Komentar
Posting Komentar